Drs. H. Navarin Karim, M.Si. |
Oleh: Drs. H. Navarin Karim, M.Si.*
Bapak Susilo Bambang Yudhoyono (Presiden Republik Indonesia) ketika diwawancarai di TVRI Jambi tanggal 22 April 2003 mengatakan kita mestinya bangga dengan capaian pertumbuhan ekonomi saat ini. Lantas host menimpali tapi pak pertumbuhan tidak diikuti dengan pemerataan, yang dimaksud tidak harus masyarakat kaya semua.
Namun fasilitas-fasilitas public dan infrastruktur harus dapat ditingkatkan sehingga dapat dinikmati masyarakat secara merata. Seperti penambahan ruas jalan, pembuatan jalan layang, peningkatan fasilitas kesehatan bagi orang miskin, transportasi yang layak bagi masyarakat, terminal yang nyaman dan aman, serta seterusnya.
Presiden kita tak kehilangan akal lantas dia menjawab seharusnya masyarakat harus bersyukur, dengan meningkatnya daya beli (purchasing power) masyarakat, mereka sebagian besar dapat kenikmatan bisa beli mobil atau kenderaan pribadi, tapi konsekuensinya sengsara karena jalan jadi macet. Prinsip nikmat membawa sengsara, ini juga terlihat dalam hal memanjakan anggota legislatif pusat, dengan memberikan fasilitas kenderaan mobil Alphard , padahal utang Negara saja masih banyak, bandingkan India pejabat hanya difasilitasi mobil yang harganya mungkin setara dengan mobil Avanza atau Xenia. Melihat pola pikir demikian berarti Pemerintah kurang mampu membuat keseimbangan pemerataan secara lebih luas, sehingga muncul stigma masyarakat bahwa pemerintah hanya berorientasi pertumbuhan. Jadi sama saja dengan pemerintahan Jambi, bangga dengan capaian pertumbuhan 8,1 % yang notabene tertinggi se sumatera, namun tidak diimbangi dengan pemerataan.
Bayangkan seperti di kota Jambi saja kemacetan jalan yang luar biasa dan tidak diikuti penambahan ruas jalan ataupun pembuatan jembatan layang. Bandingkan dengan propinsi tetangga kita Pekan Baru sudah memiliki jalan layang, dan Palembang sedang membangun jalan tol. Belum lagi pasar angso duo, kau masih seperti yang dulu (sitir lagu karya Pance Pondaag yang dinyanyikan Dian Pishesa). Berkaitan dengan nikmat membawa sengsara ini, kalau boleh penulis analogikan dalam pendidikan keluarga, anak dimanjakan (baca: diberi kenikmatan) tidur pakai AC, sekolah diantar jemput. Ketika dia kuliah pisah dengan orang tuanya, si orang tua harus menyewa rumah kost yang punya AC, akhirnya orang tua yang sengsara harus cari uang lebih untuk memenuhi fasilitas kost ber-AC kepada anaknya, atau sebaliknya kalau orang tua tidak mampu memberi fasilitas kost ber-AC anak yang sudah terbiasa ber-AC menjadi sengsara karena kostnya tidak ber-AC.
Lain lagi persoalan anak yang biasa antar jemput, ketika satu kali tidak sempat dijemput, si anak bisa saja jadi tersesat. Dalam kegiatan ekonomi sekarang kita juga melihat gampangnya orang memperoleh kredit bank, memang enak/nikmat ketika mampu membeli barang konsumtif tapi dia lupa bahwa ia akan sengsara saat harus membayar kredit tersebut setiap bulan. Belum lagi maraknya kartu kredit yang ditawarkan oleh perbankan, si pemilik kartu kredit seolah merasa bangga ia bergaya hidup modern punya kartu kredit dan dapat membeli sesuatu kapan saja dia mau, tapi dia lupa bahwa secara real income ternyata ia terjebak harus bayar hutang setiap bulan. Lain lagi persoalan pendidikan di Indonesia, banyaknya perguruan Tinggi, memberi kenikmatan bagi masyarakat dapat dengan mudah menjadi sarjana dalam waktu 4 sampai lima tahun. Bahkan ada oknum Perguruan Tinggi kalau mahasiswa itu sudah terdaftar di Perguruan Tingginya seolah dijamin/diasuransikan dalam waktu empat tahun sudah pasti jadi sarjana, asal yang bersangkutan duduk manis saja.
Namun dampak kemudahan tersebut, sarjana tidak punya kemampuan dan keterampilan, akhirnya tidak laku dipasaran kerja alias pengangguran. Marilah kita kembali kepada paradigma lama yang lebih tepat yaitu sengsara membawa nikmat. Atau ada pepatah yang mengatakan berakit-rakit ke hulu, bersenang-senang kemudian. Jangan kita terpengaruh dengan lagu kelompok band Jamrud yang mengatakan berakit-rakit ke hulu bersenang kemudian, bersakit-sakit dahulu, senangpun tak datang, malah mati kemudian. Mestinya lagu ini tidak boleh beredar. Ini tantangan bagi KPID (Komisi Penyiaran Indonesia Daerah). Kata-kata orang bijak mengatakan “orang yang sukses sekarang adalah orang yang dahulunya mau perihatin” artinya sengsara itu membawa nikmat. Kembali kepada masalah pembangunan, kita harus prioritas pemerataan ketimbang pertumbuhan. Untuk apa senang segelintir orang, tetapi membawa sengsara bagi orang banyak.
*Penulis adalah Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (STISIP) Nurdin Hamzah Jambi dan Ketua Pelanta (Komunitas Penulis Jambi)
Tidak ada komentar :
Posting Komentar