Dr. Elita Rahmi, S.H., M.H. |
Oleh: Dr. Elita Rahmi, S.H., M.H.*
134 Tahun Kartini (21 April 1879- 21 April 2013). Anak dari keluarga polygami (anak tertua istri pertama bupati Jepara) meninggal 17 September 1904, pada usia 25 Tahun saat melahirkan anak pertamanya. Saat itu tentu belum ada hak atas reproduksi sehat ? Apakah cita-cita Kartini telah terwujud?. Perjalanan masih panjang, konon kuato 30 persen perempuan yang dipersyaratkan kepada partai politik, masih menjadi dilema. Bahkan terkesan masih memberatkan proses pemilu bagi banyak partai politik?
Artinya sekalipun jumlah penduduk perempuan lebih banyak 51 persen dari lelaki, yakni sekitar 65 juta jiwa dari 130 juta penduduk Indonesia, namun angka partisipasi publik masih sangat rendah. Bertanda cita-cita Kartini masih menjadi Pekerjaan Rumah (PR) bersama ?.
Siapa orang yang paling bertanggung jawab terhadap persoalan ini ?, tentu saja negara. Bagaimana caranya agar angka pendidikan perempuan terus ditingkatkan ?. Harus ada akses publik yang gampang kepada perempuan. Sehingga terbentuk karakter perempuan yang selalu mampu berkompetisi dengan persaingan yang terus meningkat secara lokal, nasional dan global.
Raden Adeng Kartini. Si cerdas yang tak mengenal pasrah, sampai usia 12 tahun diperbolehkan bersekolah di ELS (Europese Lagere School) suatu yang tidak gampang tentu !, Kini sepak terjang Kartini sampai kepada Affirmative action (kebijakan khusus) yang ditempuh negara, melalui perundang-undangan dan kelembagaan. Namun, ternyata belum mampu secara maksimal meningkatkan peran perempuan untuk bersaing secara ketat di masyarakat. Itu pulalah sebabnya angka pejabat negara, maupun pejabat struktural perempuan di pemerintahan masih sangat kecil. Iklim kepemimpinan maskulin dalam pola ketatanegaraan (budaya patriarki) yang mengantarkan Indonesia sebagai negara korup, menjadi suatu kaji ulang untuk merekonstruksi sistem pemerintahan yang berimbang.
Kepemimpinan maskulin and feminis?. Mungkinkah ?
Betapa meneteskan air mata, apabila Kartini menyaksikan, politik affirmative action masih dihadapkan pada perdebatan yang panjang, pro dan kontra. Merebaknya kasus KDRT, meningkatnya angka gugatan cerai dari pihak istri dan sulitnya daya saing perempuan untuk mampu menerobos jejaringan patriarkhi, rendahnya pendidikan perempuan, mengindikasikan bahwa lembaga pemberdayaan perempuan masih harus bekerja sangat keras. Menteri Perempuan, kerjamu belum selesai, belum apa-apa?
Raden Adeng Kartini, anak kalangan priyayi, bangsawan Jawa, adalah sosok perempuan yang dengan gagah berani merombak tradisi Jawa, sebuah inspirasi perempuan Indonesia yang tercatat sebagai kebangkitan perempuan Indonesia. Momen penting tersebut, menjadi inspirasi bahwa setiap tanggal 21 April. Semuanya berguna untuk menambah skill perempuan Indonesia
Berbagai Instumen Hukum untuk mewujudkan keadilan Gender terus diperjuangkan bahkan telah dilakukan Ratifikasi Conventions On the Elimination Of All Forms Of Discrimination Against Women menjadi UU Nomor 7 Tahun 1984 Tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita hingga UU Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Kebijakan di atas, ternyata belum berkorelasi positif dengan angka partisipasi perempuan. 134 tahun Kartini. Kontemplasi perempuan Indonesia. Apa yang telah kita sumbangkan pada Indonesia tercinta. Bangkitlah kaum perempuan. Kartini Inspirator yang tak terlupakan.
*Elita Rahmi, Staf Pengajar Fakultas Hukum Universitas Jambi. PALENTA
Sumber: http://www.jambiupdate.com/artikel-134-tahun-kartini-sang--inspirator.html
mengapa harus kartini?
BalasHapuspadahal dibandingkan dengan Sultanah Safiatudin di aceh pada waktu jauh lebih hebat dibandingkan kartini, jelas kosntribusinya bagi peningkatan kemajuan pendidikan bagi laki-laki dan perempuan. sultanah juga bukan hanya bisa berbahsa aceh dan melayu tapi juga bahasaarab, persia, spanyol dan urdu, dimasa pemerintahannya dunia intelektual berkembang, kesusateraan maju pesat.
begitu juga dengan tokoh wanita lain di sulawesi selatan yaitu Siti Aisyah we Tenriolle, wanita ini bukan hanya ahli dalam pemerintahan tapi ahli kesusasteraan, beliau pertama klai mendidirikan sekolah modern pertama pada tahun 1908 yang diperuntukan untuk laki-laki dan perempuan. setidaknya dua wanita di atas jauh lebih mengispirasi dibandingkan kartini, yang menurut Penelusuran sejarah Prof. Harsja Bachtiar bahwa penokohan kartini adalah inisiatif Belanda yang bbermula dari akrab kartini bergaul dg kaum belanada seperti Snouck Hurgronje dan lain-lain..
kita sepertinya terjebak pada sejarah-sejarah rekayasa Belanda, sama seperti penokohan ki Hajar Dewantara sbg tokoh pendidikan, padahal siapa yang meragukan hari ini konstribusi KH.Hasyim Asyari dan KH. Ahmad Dahlan dalam bidang pendidikan di Indoensia?? tapiknapa Ki Hajar dewantara? karena dia mendapat 'kenimatan' mencicipi pendidikan ala belanda kah? bisa jadi, amak jadilah dunia pendidikan kita hari ini seperti ini. wallahu 'alam..
Sejarah perlu dibuktikan, dan perlu dituliskan. Bisa jadi sejarah yang kita dapatkan hari ini akan berbeda dengan apa yang didapatkan anak cucu kita kelak. Kemudian ia juga bisa diluruskan jika suatu saat ada bukti lain yg bisa dipertanggung jawabkan secara ilmiah. Tetaplah mengkritisi sejarah
BalasHapusSalam hangat dari kami...
Banyak memang peristiwa-peristiwa sejarah kita yang dilihat dari kaca mata Belanda, tidak proporsional dan netralistik karena sejarah Indonesia banyak ditulis oleh orang Belanda. Penulis Indonesia pun banyak yang hanya merujuk kepada sejarahwan Belanda. Hanya beberapa gelintir penulis sejarah Indonesia yg memandang dari kaca mata Indonesia. Perlu kembali mendudukkan sejarah Indonesia pada proporsi yg sebenarnya. Elita Rahmi memang tidak bicara ttg sejarah, tetapi bicara ttg sosok seorang perempuan pelopor. Kartini hanya salah satu di antara mereka. Menarik utk ditelusuri lebih lanjut (Maizar Karim).
BalasHapus