Untuk bank data Pelanta bisa dilihat di www.data-pelanta.blogspot.com. Data tersebut akan terus diperbaharui

Rabu, 01 Januari 2014

Masyarakat Banalistik Terhadap Korupsi

(Refleksi Efek Pemberitaan Korupsi di Media)
Oleh: Agus S. Nugroho*
Pemberitaan korupsi tanpa absen hadir setiap hari terus menghiasi media massa kita (televisi, radio, koran dan online), pelakuAnya pun dapat teridentifikasi dengan mudah mulai dari pejabat negara, pengusaha, pendidik sampai artis, rangking teratas secara umum didominasi oleh pejabat negara dari golongan tertinggi sampai rendahan ikut tersangkut. Jika golongan pejabat negara sebagai tersangka korupsi hampir semua orang  mahfum, karena kelompok ini memiliki kekuasaan dan peluang terbesar dalam pengambilan keputusan termasuk kebijakan anggaran (dana).

Hipotesanya semakin gencarnya penangkapan pejabat atau pihak yang diduga korupsi oleh KPK dan semakin seringnya pemberitaan korupsi, seharusnya menurunkan tingkat kejadian dan munculnya kesadaran untuk tidak korupsi dikalangan masyarakat (pejabat) namun logika tadi nampaknya tidak berlaku di Indonesia, impian keadaan membaik semakin jauh malah justru kebalikannya.

Salah satu indikasi yang mungkin bisa diamati adalah pejabat kelihatannya mulai permisif terhadap korupsi, masyarakat membaca setiap kejadian korupsi sudah menjadi seperti menu setiap hari, layaknya sarapan pagi seseorang disuguhi makanan yang sama membuat orang hapal akan rasa, tekstur, isi dan lain sebagainya. Sehingga saat ini berita korupsi yang hadir setiap hari seakan-akan menciptakan pejabat bahkan masyarakat yang banal yakni hilangnya rasa takut, malu, rasa bersalah bahkan rasa berdosa terhadap pencipta-Nya.

Sikap seperti ini layaknya seperti syndrome yang telah menjangkiti aparatus negara dan pihak-pihak yang berhubungan dengan uang (proyek). Media massa dalam hal ini pers sebagai bagian penting dari suatu peradaban suatu masyarakat, yang mengikuti fungsi didalamnya yakni sebagai watch dog  telah memainkan fungsinnya sebagai komponen pengontrol negara beserta aparatnya agar menjalankan pemerintahan yang baik (good government) serta transparan.


Posisi yang sangat jelas oleh pers, juga dapat dibaca dari kemampuan media mengendus indikasi korupsi dari setiap kegiatan (proyek) yang dilakukan oleh oknum pejabat dan kroninya. Dengan kemampuan pers tersebut seharusnya setiap aparatus negara dan pihak yang terkait, mustinya muncul perasaan takut “ngeri” bakal menjadi pihak yang terindikasi bahkan menjadi tersangka, namun justru sebaliknya pesan utama berita korupsi layaknya seperti permainan runtutan kartu domino yang dijatuhkan akan saling berjatuhan membuat mata rantai yang saling berhubungan setiap orang bersemangat berlomba untuk korupsi sebesar-besarnya dan berpacu untuk membuat modus-modus baru yang seakan-akan tidak bisa dicium oleh siapapun.

Dengan fenomena negara yang korup seperti sekarang, maka pers sebagai agen informasi wajar terdepan memberikan andil dan kepentingan untuk menyuarakan, mendorong negara beserta warganya untuk memerangi korupsi. Maka yang paling sederhana dilakukan pers dalam setiap kegiatannya selain memberitakan juga menyelipkan pesan utama agar masyarakat takut, malu dan berdosa berbuat korupsi. Contoh nyata jika kilas balik dijaman Soeharto orde baru setiap terjadi tindakan korupsi maka koruptornya disampaikan melalui media massa tujuannya agar koruptor malu secara pribadi dan publik timbul sikap takut untuk tidak korupsi, cara ini dinilai cukup efektif walaupun terlihat tebang pilih terhadap koruptor, hanya koruptor kecil saja yang dipublikasikan sementara koruptor besar bebas berkeliaran dibawah perlindungan penguasa. Namun dari bentuk informasi yang disajikan dijaman tadi minimal telah terbentuk persepsi bahwa korupsi kejahatan akan menjatuhkan wibawa dan keluarga.

Dalam kajian komunikasi, suatu pesan dapat merubah sikap dan perilaku manusia  jika informasi atau pesan tadi dibubuhi dengan ancaman (coersif) seperti hukuman, ancaman, sanksi atau sebaliknya membujuk (persuasif), mengajak, merayu. Dan konsep komunikasi tersebut sebenarnya secara jelas telah diterapkan oleh media (pers) dalam setiap tayangan atau kemunculan suatu berita korupsi. Tapi kenyataan malah berbanding terbalik semakin gencar pemberitaan korupsi berikut ancamannya semakin banyak indikasi korupsi dilakukan oleh berbagai pihak.

Dengan situasi seperti ini, apakah cukup hanya dengan berita-berita penangkapan dan hukuman koruptor efektif untuk menyadarkan masyarakat terhadap bahaya korupsi ? beragam jawaban akan diberikan namun yang jelas tidak cukup karena kejahatan korupsi merupakan kejahatan luarbiasa (extraordinary crime) maka penangnganannya harus luarbiasa pula.

Harus diakui bahwa pesan/ informasi utama yang tersampaikan kemasyarakat, melalui berita yang beredar sekarang ini baru mencapai tingkat afeksi dan kognitif. Secara afeksi bahwa pesan baru dalam tataran bahwa masyarakat merasakan emosionalitas (marah, kecewa, malu) terhadap tindakan korupsi yang dilakukan oleh seseorang.  

Aspek kognitif, pesan telah memberikan kepercayaan kepada masyarakat bahwa tindakan korupsi bisa dilakukan oleh semua orang tanpa terkecuali. Sedangkan dalam tataran behavioral bagaimana? agar pesan utama pemberantasan korupsi tercapai,  ini yang menjadi pertanyaan besar selanjutnya sekaligus menjadi pekerjaan rumah bagi semua pihak tidak hanya bagi media (pers) saja.

Aspek pesan behavioral berarti bagaimana pesan pemberitaan korupsi bisa ber-efek pada kecendrungan perilaku untuk tidak melakukan tindakan korupsi karena adanya ancaman yang jelas berupa hukuman dan atau bujukan karena dosa secara sosial dan agama yang diemban oleh pelaku. Konsep pesan utama behavioral (perilaku)lah yang harus diberikan porsi lebih dalam informasi pemberantasan korupsi.

KPK sudah cukup jelas menyuarakan tagline Jujur itu Hebat semboyan ini diasumsikan akan efektif mencegah dan merubah perilaku pejabat serta pihak yang memiliki akses, terhadap pengelolaan juga penggunaan dana, ternyata semboyan korupsi ini tidak begitu berjalan efektif bahkan pejabat tidak malu mempertontonkan kejahatannya dimuka umum maka antitesis dari jujur itu hebat seakan-akan telah berganti menjadi korupsi itu hebat. 

Masyarakat yang jenuh dengan kondisi sekarang penangngannya yang lambat, law enforcement yang rendah dijadikan parameter tidak menurunnya tingkat korupsi bahkan menjadikan banalitas sikap dimasyarakat khususnya kalangan pejabat daerah sampai pusat. Penguasa dan kroninya melihat korupsi saat ini layaknya kriminal jalanan copet, merampok, begal yang bakal dihukum ringan. Dengan paradigama masyarakat (koruptor) seperti itu maka aktifitas cegah tangkal korupsi oleh KPK dan pemberitaan besar korupsi oleh media telah kehilangan makna bukan menjadi hal yang luar biasa lagi apalagi ditakuti.

Berdasarkan pengamatan sederhana terhadap sikap masyarakat dan pengaruh pemberitaan korupsi kaitannya dengan efek jera dimasyarakat, dapat dikatakan bahwa masyarakat semakin permisif terhadap tindakan korupsi, banalitas semakin meluas dikalangan birokrat, eksekutif, legisltaif dan yudikatif dari tingkat daerah sampai pusat akan tindakan korupsi. Lantas bagaimana ditahun di 2014 mendatang dalam penanganan korupsi ?semua pasti orang berharap terjadi penurunan kasus korupsi sementara dibagian lain masih banyak pula orang melihat pesimis terhadap kondisi penuntasan korupsi dengan segala alasannya.ha

Penulis memberikan analisis terhadap kecendrungan tindakan dan gambaran korupsi ditahun 2014 sekaligus menjawab beberapa pertanyaan yang muncul sebelumnya; 1) bahwa diperlukan kreatifitas ataupun format khusus dalam pembuatan pesan utama yang mampu merubah cara berpikir (paradigma) agar terjadi perubahan secara perilaku (behavioral) pejabat dan masyarakat terhadap tindakan korupsi; 2) menumbuh kembangkan rasa malu pada setiap diri orang akan tindakan korupsi, sehingga kita tidak menjadi masyarakat yang banalistis terhadap suatu kondisi yang menyimpang. Bila kedua kondisi diatas tidak terpikirkan bersama maka niscaya penuntasan korupsi ditahun 2014 lebih baik daripada tahun 2013 yang sebentar lagi akan selesai, malah bisa jadi 2014 lebih parah.

Peluang tersebut sangat mungkin sekali terjadi ditahun 2014, karena dari hitung-hitungan politik, tahun  2014 merupakan tahun politik termasuk tahun perputaran uang, yang antah berantah dari mana asalnya, uang akan begitu mudah bergulir ditengah konstelasi politik nasional termasuk berada ditengah masyarakat, praktek money laundry akan semakin tergelar bebas dalam bentuk modus baru , yang ditengarai tumbuh subur demi mendapatkan kekuasaan belum lagi dengan peredaran uang palsu.

Sekali lagi tahun 2014 merupakan tahun terberat dalam penangnganan korupsi ditengah kebijakan penguasa yang terkadang masih antiprodukrif terhadap pemberantasan korupsi, supply dan demand terhadap kebutuhan biaya politik yang berujung pada korupsi akan semakin tinggi, ditambah dengan perilaku masyarakat khususnya pejabat penguasa yang belum jera padahal sudah banyak yang tertangkap oleh KPK, akan menjadikan perang terhadap korupsi semakin mendapat tantangan hebat.

Oleh karena itu ditahun 2014, yang bisa disampaikan sekaligus harapan adalah munculnya pemimpin yang tidak hanya mampu merubah wajah indoensia lebih baik dengan menurunkan tindakan korupsi tetapi butuh pemimpin yang mampu menyadarkan warganya tentang perilaku menyimpang memberikan resep yang jitu agar kembali menjadi warga yang perduli dan tidak banal dalam melihat kejadian korupsi.

Peran media sangat terus dibutuhkan dalam merubah masyarakat agar tidak menjadi syndrome banalistis dalam perang korupsi, media merupakan garda terdepan yang secara otomatis sebagai agen informasi agar masyarakat bisa tercerahkan melalui  informasi dan berita. Dalam bahasa lain masyarakat dapat mengambil hikmah positif dibalik kejadian negative tentang korupsi. Ini yang dibutuhkan masyarakat. Media tidak hanya sekedar mengambil peran penyampai informasi kejadian dan fakta tetapi juga berperan dalam membentuk masyarakat yang antikorupsi melalui pemberitaannya.

Sinergisitas lembaga terkait dengan masyarakat dalam meuwujudkan Indonesia bersih tanpa korupsi selama ini belum terlihat, namun melalui keterlibatan media sebagai agen perubahan diharapkan mampu memberikan impian Indonesia 2014 lebih baik dan masyarakat (pejabat) tidak banal terhadap tindakan korupsi.

*Praktisi dan Dosen Komunikasi STISIP NH Jambi.
Sumber:http://www.jambiupdate.com/artikel-masyarakat-banalistik-terhadap-korupsi_2.html


Tidak ada komentar :

Posting Komentar

Space 2

Space 2