Untuk bank data Pelanta bisa dilihat di www.data-pelanta.blogspot.com. Data tersebut akan terus diperbaharui

Minggu, 15 Desember 2013

Menegaskan Identitas Ulama

H. Hermanto Harun, Lc., M. H. I., Ph. D.
Oleh: H. Hermanto Harun, Lc., M. H. I., Ph. D.*
Baru-baru ini, ada peristiwa yang cukup istimewa bagi tradisi keilmuan Islam di Jambi, dimana tradisi keilmuan seperti itu hampir sudah jarang terdengar dalam budaya ulama di tanah Melayu ini. Peristiwa istimewa yang laik direkam sejarah tersebut terangkum dalam acara “Silaturrahim Ulama dan Pimpinan Pesantren Se-Provinsi Jambi” yang  diselenggarakan di Pondok Pesantren Modern al-Hiayah (PPM al-Hidayah) Pal 10, (9/12/2013). 


Keistimewaan acara tersebut bukan hanya terletak pada upaya sinergisitas dan penyamaan persepsi ulama tentang solusi penyelesaian problematika umat, namun juga terjadi munazarah (sharing) dalam bahtsul masa-il yang membahas pelbagai permalasahan keumatan, baik yang berhubungan dengan ibadah maupun mu’amalah (sosial).

Selang sehari berikutnya, (10-12/12/2013) penulis juga menghadiri acara forum ulama yang sangat prestise, dimana Majlis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi Jambi mengadakan Rapat Koordinasi Daerah (Rakorda) yang bertempat di Gedung MUI Provinsi Jambi. Acara ini menjadi lebih bergengsi mengingat para peserta merupakan pentolan ulama yang mewakili setiap daerah kab/kota dalam Provinsi Jambi, seperti Buya Abd Sattar dari Merangin, Buya Halim Qasim dari Tungkal, Prof Suhar dari Sarolangun, Dr Husein Wahab dari Kota Jambi dan sederet nama lainnya.  

Meski terkesan sederhana, acara yang mengusung tema; Pemantapan Program, Konsilidasi Organisasi dan Perbaikan Akhlak Bangsa, Pemberdayaan Ekonomi Umat Menuju Jambi Emas 2015, merupakan perhelatan rutinitas yang cenderung seremoni. Namun, berkumpulnya ulama Jambi dalam rumah MUI ini tentu memiliki banyak makna, dan menyimpan harapan besar umat, mengingat kontribusi ulama sangat diharapkan, bukan hanya terhadap dalam persoalan ubudiyah, namun juga dalam merespon tantangan zaman yang selalu dinamis dan berkembang.    

Kedua ‘gawe’ ulama seperti dalam perhelatan di atas, sekilas menjadi signal akan adanya ketersambungan harapan umat melalui peran aktif para ulama terhadap dinamika kekinian, terutama yang berhubungan dengan persoalan sosial keagamaan.  Hal ini menjadi sangat penting, karena ulama nyaris dianggap absen dari dinamika itu, bahkan terkesan terisolir dari peran otoritas sosial yang semestinya.

Padahal, keberadaan ulama dalam dinamika kehidupan masyarakat muslim, menurut Thoha Hamim, secara sosiologis dituntut kehadirannya memberi legitimasi teologis terhadap totalitas kehidupan umat. Ulama yang kemudian menjelma menjadi kelompok elit agama dalam realitasnya seringkali mengendalikan kehidupan masyarakat muslim, dan kemudian dengan keahlian mereka dalam bidang ilmu keagamaan Islam, memerankan elit agama ini menjadi regulator bagi segala dimensi kehidupan, mulai dari moral, pendidikan, ekonomi, hukum sampai sosial budaya. 

Dalam perspektif keimanan Islam, wujud aktif ulama ditengah umatnya merupakan pewaris tahta para nabi (QS Fatir 28). Dari itu, para ulama memiliki kewajiban laiknya tugas para Rasul dalam menyampaikan risalah (ajaran) mulia agama, dan selanjutnya mengimplementasi nilai-nilai mulia itu dalam kehidupan nyata, sesuai perintah dan praktek yang telah dilakoni para Rasul yang tersimpan dalam sabdanya “ballighu ‘anni” (sammpaikan dariku) meskipun hanya satu pesan (ayat).

Dari sinilah kemudian, Imam al-Ghazali dalam karya monumentalnya Ihya ‘Ulumuddin memberi analogi relasi ulama dengan umatnya bak seperti tongkat dengan banyangannya (al-‘ud wal al-zil) atau seperti kanvas tanah dengan lukisan. Perumpamaan ini jelas sekali menggambarkan bahwa, kondisi sosial keagamaan masyarakat saat ini merupakan potret dari entitas ulama-nya. Ulama seolah tongkat yang tentu akan memberi efek banyangan, yang bagaimana mungkin bayangannya akan lurus, jika tongkatnya bengkok.

Ilustrasi relasi ulama dan umatnya seperti gambaran al-Ghazali tersebut sepertinya cocok dengan realitas kekinian sekaligus juga menggelitik. Berbagai persoalan umat saat ini, mulai persoalan kemiskinan, pornografi, korupsi dan juga kerusakan moral lainnya, seolah menegaskan kembali bahwa absennya ulama menjadi suatu sebab akutnya problematika sosial masyarakat . 

Dari sini kemudian, wujud MUI menjadi signifikan dan absah, karena dianggap refresentasi ulama yang lintas sektoral, yang mewakili pelbagai komunitas institusi keumatan yang hidup ditengah masyarakat. Akan tetapi, ketika identitas keulamaan itu menyatu dalam komunitas dan terlembaga, kadang menimbulkan pelbagai pertanyaan yang agak musykil, seperti standar kualifikasi apa yang bisa memberi label keabsahan seseorang itu bisa “dianggap” ulama? 

Selanjutnya otoritas apa yang dimiliki para ulama itu sehingga klausul rekomendasi Rakor itu bisa direalisasikan dan bersinggungan langsung dengan kebutuhan umat? 
Beberapa pertanyaan sederhana tadi yang kemudian menggelinding ke permukaan publik, menggelitik untuk didiskusikan dan dicari jawabannya secara bijaksana. Munculnya pertanyaan tersebut, hemat penulis, setidaknya karena beberapa persoalan; Pertama, ketidakjelasan proses regenerasi dan rekrutmen anggota MUI itu sendiri. Juga, proses pengkaderan ulama yang masih sangat kabur, sehingga efek berikutnya mengaburkan kualifikasi kepantasan menyandang gelar keulamaan itu. 

Sebagai akibatnya, identitas MUI sendiri sebagai lembaga yang menamakan diri institusi (majlis) ulama masih bisa dianggap bermasalah dan bahkan mungkin diragukan. Jika demikian, maka output kerja dan hasil Rakor MUI bisa mentah sekaligus cacat etika, karena jika identitas awalnya sudah bermasalah, jelas produksi hasilnya juga bermasalah. 

Kedua, ketidakjelasan status MUI  dalam sistem kenegaraan, yang mengakibatkan lemahnya otoritas yang dimilikinya. Sepintas, keberadaan MUI hampir sama dengan Institusi Fatwa (Dar al-Ifta) yang ada di berbagai negara muslim. Namun, posisi MUI dalam sistem negara berbeda dengan Institusi Fatwa tersebut, karena Institusi Fatwa seperti di Malaysia misalnya, diakui sebagai bagian dari stuktur negara, sehingga memiliki otoritas dan wewenang di bidang fatwa yang selanjutnya direalisasikan oleh negara. 

Lain halnya dengan MUI yang keberadaannya mirip dengan Ormas keagamaan yang tidak lebih sebagai lembaga “moral” sehingga tidak memiliki posisi yang jelas dalam struktur negara. Konsekuensinya, keberadaan MUI penuh dilema, wujudnya tidak begitu penting, namun ketiadaannya bagitu dirindukan. Ketidak-pastian status MUI ini menempatkannya pada posisi “muzabzab” yang seringkali membuatnya tidak berdaya, tidak independen yang ujungnya hanya menjadi stempel legitimasi kekuasaan, karena posisinya sebagai tangan dibawah yang terkesan “memelas” dari kebijakan pemerintah.

Dua persoalan musykil terhadap identitas ulama tadi, semestinya menjadi perhatian bersama sebagai warga negara yang berpenduduk mayoritas muslim. Karena perhelatan ulama seperti dalam dua kegiatan tadi, paling tidak sudah menunjukkan bahwa para ulama dan intitusi keagamaan tidak absen dari realitas problematika sosial umatnya. 

Dan sudah seharusnya pula, ulama menjadi penentu kebijakan dalam kerangka mencari formulasi kemaslahatan umat dan negara. Bukankah selama ini, ulama menjadi bagian dari pengurai berbagai krisis ditanah air, seperti ungkapan Fahmi Huwaidi, al-ulama mafatih al-azamat  (ulama sebagai kunci penyelesaian krisis), bukan seperti “daun salam” dimasukkan ke dalam masakan hanya untuk penikmat rasa, selanjutnya dibuang ketika mau disantap.Wallahu ‘alam. 

*Dosen Pascasarjana IAIN STS  & Guru Pondok Modern al-Hidayah Pal 10, Jambi.  


Tidak ada komentar :

Posting Komentar

Space 2

Space 2