Wenny Ira Reverawati, S. I. P., M. Hum. |
Oleh: Wenny Ira Reverawati, S. I. P., M.Hum.*
Korupsi telah menjadi gejala umum dalam ruang publik di negara Indonesia akhir-akhir ini. Setiap hari, informasi mengenai korupsi semakin memadat dari berbagai kanal berita yang tersedia dimasyarakat. Gejalanya kian hari menunjukkan kekomplekkan, karena berbagai pihak terlibat dalam setiap kasus korupsi yang muncul. Ini seperti jejaring yang rumit dan sulit untuk diuraikan kesudahannya.
Dalam prespektif yang sedikit seksis, korupsi dipandang sebagai sebuah gejala patologis dari kekuasaan yang didominasi oleh budaya patriarki. Dominasi budaya ini dipandang sebagai sesuatu yang haus akan kekuasaan dan menghalalkan segala cara. Apakah rasional atau irasional kemudian korupsi digunakan sebagai problem solving dalam budaya tersebut. Kesimpulannya kemudian, gender yang dominan dalam budaya patriarki ini bukan sebagai sesuatu pribadi yang begitu mudah ditemukan sebagai pribadi anti korupsi.
Sebaliknya ada yang berprespektif bahwa jika seandainya terdapat lebih banyak gender yang minoritas dalam hal ini adalah perempuan, bercokol dalam ruang kekuasaan budaya patriarki itu, maka korupsi dapat sedikit diredam atau bahkan menurun. Itu dikarenakan anggapan bahwa perempuan lebih memiliki pilihan sikap yang anti korupsi.
Pada faktanya kemudian masyarakat mempertanyakan benarkah demikian? Ditengah derasnya pemberitaan saat ini yang menyajikan secara berlebihan wajah-wajah perempuan yang tersandung kasus korupsi dilingkaran legislatif, eksekutif ataupun yudikatif bahkan subkultur ekonomi. Ini dengan berbagai posisi yang kuat ataupun sekedar pembantu, maupun penggembira dalam lingkaran tersebut, perempuan kian terbelit dalam titik-titik jejaring kasus korupsi.
Perempuan di Indonesia kini memang sedang menikmati euforia ruang publik yang tengah membukakan pintunya. Meskipun masih dapat dihitung dengan jari, tetapi perempuan setidaknya telah mencicipi peluang-peluang berekspresi di ruang publik, dan mengambil keuntungan darinya. Tidak sedikit kemudian diantaranya yang berhasil memegang kekuasaan dan juga mendapatkan manfaatnya.
Kebebasan perempuan untuk meloncat dari ruang privat keruang publik dan mengambil peran multitalented diantara keduanya, sayangnya kemudian disambut oleh semangat hedonisme yang memuja kepentingan sesaat dan kesenangan diatas segala-galanya. Pusaran hedonisme ini begitu kuatnya menyebar keruang privat dan juga ruang publik dalam garis persinggungan kehidupan bersama. Dimana nilai-nilai material menjadi ikon yang diambil.
Hedonisme ini kemudian mengantarkan suatu gaya hidup bahwa ternyata korupsi tidak mengenal istilah gender. Celakanya, spirit hedonisme justru kian menjebak perempuan dalam pilihan yang tidak lagi anti korupsi baik secara langsung ataupun tidak langsung, secara sadar atau tidak sadar. Keterlanjuran pengambilan peran perempuan di ruang publik tanpa adanya banyak pengalaman dan jejaring yang banyak juga kuat, belum memberikan gambaran yang jelas bagi perempuan, bahwa ada suatu konsekuensi yang juga harus dipertimbangkan didalamnya.
Berbeda dengan gender mayoritas dalam budaya patriarki yang telah mengetahui konsekuensi sekaligus manfaat dari kekuasaan dan mempunyai strategi atasnya, pusaran hedonisme dengan mudah mengalihkan bahwa sebenarnya perempuan-perempuan yang menjadi korban dalam kasus korupsi menjadi sosok yang harus bertanggung jawab atas kasus korupsi yang muncul. Seolah-olah tangan perempuan memang menentukan dalam setiap kasus korupsi.
Publik kemudian juga menyoroti, diruang privat perempuan semakin tidak mempunyai saringan logika yang baik berhadapan dengan arus hedonisme. Terkadang, dorongan laki-laki untuk melakukan korupsi dimulai dari tuntutan perempuan di ruang privat ini. Maka wajar kemudian perempuan jika menjadi tertuduh pelaku korupsi diruang publik. Kita tentu masih ingat, bagaimana publik menyoroti gaya belanja online angelina sondakh yang mencapai milyaran, harga-harga tas anggota dewan perempuan, hadiah-hadiah permintaan yang diberikan kepada si A , si B, si C, perempuan pendamping tersangka korupsi laki-laki.
Di satu sisi, perempuan diupayakan untuk dapat ditingkatkan partisipasinya dalam setiap proses politik dalam pergulatan di ruang publik. Harapannya adalah agar perempuan dapat mengawal kebijakan yang berimbang dan tidak lagi menyudutkannya, dan mengabaikan kepentingannya pada bidang-bidang yang vital dan berdampak kepada orang-orang disekitar perempuan. Apalagi dalam gejala korupsi, perempuan adalah korban yang telak dari setiap kasus korupsi yang terjadi, karena dampak korupsi merampas hak-hak perempuan, apalagi perempuan dalam kategori marginal, dari segi pendidikan, kesehatan, pelayanan publik, dan kesempatan untuk dapat sejahtera bagi diri, anak-anaknya, maupun keluarganya.
Jadi, apakah perempuan mengambil pilihan sikap anti korupsi atau datang memenuhi undangan kebebasan berkuasa di ruang publik, dan dijadikan taruhan dalam arena permainan dadu yang bernama korupsi, perempuan harus menjadi sosok Drupadi yang tabah sekalgus cerdas, menghadapi segala kemungkinan dan konsekuensinya. Apalagi di ruang publik juga privat, perempuan telah dilucuti eksistensinya oleh spirit hedonisme, yang setidaknya tetap memberikan konsep keraguan akan kapabilatas perempuan untuk menjadi pemimpin bagi sesamanya atau semua. Dan biarpun perempuan mencoba melakukan pembelaan dan mempertanyakan keadilan dalam posisinya saat ini berhadapan dengan korupsi, tidak ada satupun kebijakan yang dengan bajik berupaya untuk membela perempuan dalam majelis-majelis yang terhormat sekalipun. Kalaupun ada pertolongan, itu hanya sebuah selendang yang tidak begitu panjang, dan tiba-tiba muncul ketika kasus korupsi membelit perempuan.
*Wakil Ketua II juga Dosen Tetap pada Program Studi Ilmu Pemerintahan STISIP Nurdin Hamzah Jambi, dan anggota PELANTA.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar