Untuk bank data Pelanta bisa dilihat di www.data-pelanta.blogspot.com. Data tersebut akan terus diperbaharui

Minggu, 15 Desember 2013

Universalisme HAM vs Komunitas

Wenny Ira Reverawati, S. I. P., M. Hum.
Oleh : Wenny Ira Reverawati, S.I. P., M. Hum.*
Isu-isu Hak Asasi Manusia (HAM), dalam implementasi dan konsep, berderap melewati jaman reformasi sampai kini. Banyak kajian disajikan untuk membahas HAM, banyak manuver diupayakan untuk menghindari sebuah lubang yang dinamakan HAM dijalan pemerintahan yang harus menuju demokratis. Semua orang tentunya di jaman ini fasih berbicara HAM.

Kita mengenal HAM yang telah dirumuskan secara universal dan dijajakan keliling kepada seluruh penghuni bumi. Dalam pada itu, konsep HAM mengacu untuk menyeragamkan bahwa kita semua penduduk bumi ini punya hak asasi yang sama, punya kesamaan untuk haus individualitas berdasarkan HAM universal tersebut, tidak peduli darimana kita berasal dan dibentuk secara pribadi. HAM dalam tataran ini kemudian bergerak liberal, sehingga mengundang pertanyaan dan wacana kritis bagi peradaban timur yang dipenuhi oleh komunitas adat dan budaya. Sebab terkadang, atas nama HAM yang universal tersebut, komunitas-komunitas adat dan budaya ini diberangus untuk mengalah kepada kehidupan yang universal dan dianggap jauh lebih beradab.

Tuhan memang memberikan kita hak asasi sejak kita terbentuk didalam kandungan. Tetapi kemudian kita harus turun kedalam lingkungan sosial kita, dan ini akhirnya membentuk makna mengenai konsep hak asasi secara tersendiri berdasarkan lingkungan sosial kita tinggal, secara adat dan budaya yang jelas berbeda dengan makna dan konsep hak asasi adat dan budaya tetangga sebelah, apalagi yang diseberang lautan. Namun demikian perbedaan makna dan konsep inilah yang justru ketika terjadi perjumpaan harus dihargai dan dipahami sebagai garis demarkasi keutuhan kita sebagai manusia yang menghargai manusia lain, yang membutuhkan manusia lain, yang tidak akan pernah bisa hidup nyaman ketika kita hidup diatas penderitaan manusia lain.

Di Jambi kita mengenal komunitas adat yang kini terkenal dengan sebutan orang rimba, dan baru-baru ini di filmkan secara nasional. Keberadaan orang rimba merupakan suatu bukti peninggalan klasik benturan antara masyarakat nomaden dengan petani. Sejak dulu benturan ini tidak dapat dihindarkan dan merupakan fenomena tersendiri dalam ruang peradaban. Filosophi masyarakat nomaden dalam memandang keselarasan hidup dengan alam, terdesak oleh filosophi masyarakat petani dalam mengembangkan kehidupan berskala modern dan mereka klaim lebih beradab dan kini tergila-gila dengan slogan kebebasan indvidu .

Peradaban yang diklaim secara modern dan lebih paham soal HAM ini, terus melakukan desakan kepada komunitas masyarakat nomaden orang rimba agar orang rimba dapat hidup sesuai dengan peradaban yang telah dikonstruksikan secara universal modern tersebut. Orang rimba dipaksa untuk menyesuaikan diri demi pemenuhan kebutuhan peradaban yang lebih modern, kayu-kayu di hutan mereka ditebangi, hasil hutan mereka dijarah dengan paksa, batas-batas hutan tempat komunitas orang rimba bermukim dilanggar demi desakan kebutuhan pemukiman dan pertanian, perkebunan. Lucunya, mereka juga dijadikan sasaran untuk mendukung legitimasi kekuasaan. Berbagai program pemerintahan modern dikenakan kepada mereka, dukungan suara mereka sebagian diperlukan dalam pembentukan legitimasi modern. Orang rimba hanya mengalah, menurut karena paham bahwa mereka terkait dengan sistem luar komunitas mereka yang memegang peranan terhadap tuntutan komunitas mereka.

Jika HAM bagi peradaban modern yang diagung-agungkan itu merupakan totem yang sangat dipuja, dan semua pihak yang mengklaim diri beradab dalam cara-cara modern tersebut berupaya menjaganya sekeramat mungkin. Bagaimana dapat kemudian totem tersebut dilumuri oleh cara-cara otoriter untuk menafikkan keberadaan yang beragam dari peradaban lain yang seharusnya dapat dimaknai sebagai sesuatu yang harus dipahami demi keselarasan hidup bersama.

Sebagian orang rimba memang kemudian meletakkan konsekuensi terhadap perubahan dengan memilih untuk rela di “beradab”kan, atau memilih mempertahankan komunitasnya dengan sekuat tenaga, melalui sisa-sisa perjuangan hak-hak asasi mereka yang harus ditegakkan dimata peradaban modern yang telah paham dengan berbagai teori HAM dan demokrasi.

Orang rimba sebagai komunitas adat kini menuntut hak-haknya untuk dapat hidup layak secara komunitasnya. Celakanya tuntutan itu harus disampaikan menurut cara-cara yang hanya dapat dipahami oleh peradaban modern masyarakat diluarnya yang telah dengan berani mendesakkan kepentingan individunya atas nama HAM. Untuk mendapatkan kembali hak-haknya tersebut, orang rimba harus belajar dengan keras, dan memahami dengan kuat apa yang dimaui oleh peradaban modern yang telah menetap dan mengklaim lebih beradab tersebut. Sementara itu orang-orang modern yang beradab dan paham sangat akan HAM ini, sedikit peduli untuk paham terhadap hak-hak orang rimba dan cara-cara orang rimba, yang harusnya mereka tenggang untuk tegaknya kemanusiaan.

Belajar kepada orang rimba, bahwa sejatinya HAM yang berlaku universal itu perlu dikaji ulang, bahwa ada hak asasi komunitas yang mempunyai persepsi dan makna berbeda dalam memandang eksistensi kemanusiaan, begitu juga dengan lingkungan budaya dan adat kita dalam memaknai hak asasi kemanusiaan. Apakah ketika kehidupan nomaden telah punah berganti wajah menjadi peradaban yang menetap, berbudaya sama dengan manusia modern yang hanya mengenal hutan beton dan labirinnya serta tekhnologi manipulatif, kita dapat dengan puas merasa menjadi manusia seutuhnya?        
     
*Wakil Ketua II dan Dosen Tetap Program Studi Ilmu Pemerintahan STISIP Nurdin Hamzah Jambi, anggota PELANTA.

Tidak ada komentar :

Posting Komentar

Space 2

Space 2