Untuk bank data Pelanta bisa dilihat di www.data-pelanta.blogspot.com. Data tersebut akan terus diperbaharui

Kamis, 19 Desember 2013

Demokrasi, Politisi dan Akademisi

Oleh: Suaidi Asyari*
Sejak bergulirnya roda reformasi akhir 1990-an lalu dan dikeluarkannya sejumlah undang-undang politik di negeri ini, kran demokrasi itu sudah terbuka selebar-lebarnya. Hal ini diringi dengan lahirnya ribuan organisasi hampir dalam segala bidang dan profesi kehidupan. Setiap kelompok masyarakat nyaris tanpa terkecuali sudah dapat menikmati kebebasan politik hampir dalam pengertian tanpa batas. Sehingga pengertian awam tentang demokrasi dari, untuk dan oleh rakyat betul-betul dipraktekkan hampir oleh setiap kelompok masyarakat. 

Namun akibat negatifnya belakangan masih terasa di sejumlah tempat ketika ada sekelompok masyarakat yang bersifat adhoc membuat demokrasi dari kekuatan rakyat, untuk kepentingan rakyat dan oleh rakyat telah dipersepmit menjadi dari kekuatan tim sukses, oleh kepentingan tim sukses dan untuk kepentingan tim sukses. Akibatnya, telah terjadi penodaan terhadap apa yang disebut kepentingan rakyat. Tulisan ini mencoba mendiskusikan peran pimpinan politik dalam kaitannya dengan kelompok akademisi (para dosen dan peneliti).

Makna Politik di Era Reformasi
Selama masa pemerintahan Orde Baru di bawah kepemimpinan Suharto, politik adalah sebuah kosa kata tabu yang boleh diucapkan dan dilakukan oleh kelompok tertentu saja, yaitu pemerintah. Anggota masyarakat atau rakyat tidak boleh bermain politik jika tidak mau dianggap melawan negara. Jadilah politik “makanan” haram bagi sejumlah besar rakyat Indonesia. Bermain politik bisa bermuara masuk penjara atau diasingkan untuk yang masih dapat ditolerir. Atau ditembak mati secara misterius atau terang-terangan. Rakyat nyaris tidak mempunyai hak politik dalam pengertian demokrasi yang sesungguhnya.

Namun setelah masuk Era Reformasi yang demokratis ini, politik berubah makna manjadi jauh lebih ideal. Namun pada titik tertentu dia berubah makna menjadi anarkhis, bebas tanpa batas. Kebebasan politik sering kali melewati batas-batas politik sehat yang demokratis itu.

Menurut Aristoteles, politics is nothing less than the activity through which human beings attempt to improve their lives and create the Good Society (Aristoteles, 384-322 BCE) (Politik itu tidak lebih dari kegiatan melalui mana manusia berusaha untuk memperbaiki kehidupan mereka dan menciptakan masyarakat yang baik. Dengan kata lain politics is an ethical activity concerned with creating a just society. Politik adalah aktivitas atau kegiatan yang etis/bermoral berkaitan dengan penciptaan sebuah masyarakat yang adil. Pengertian ini bermakna bahwa keterlibatan dalam politik tidak selalu bertujuan memenangkan kukuasaan. Terlibat saja dalam sebuah aktivitas kontes kekuasaan sudah memberikan kontribusi bagi upaya penciptaan masyarakat yang baik dan adil. 

Bagi banyak failosuf yang arif, politik itu adalah seni memperebutkan kekuasaan, mengelola kepentingan yang berbeda, sumber-sumber perekonomian, dan membuat aturan main tentang semua itu yang tujuannya untuk membahagiakan orang banyak melalui kebijakan-kebijakan yang dibuat. 

Seiring dengan itu kemudian, politics is the art of preventing people from taking part in affairs which properly concern them (Paul Palery, 1871-1945). (Politik adalah seni mencegah orang mengambil bagian dalam urusan yang benar memprihatinkan mereka). Artinya, politik juga bermakna upaya-upaya supaya mengindari kemungkinan masuknya orang-orang yang tidak layak atau tidak cakap untuk mengurus urusan orang banyak.

Sejati dan idealnya, politik itu adalah seni membuat segala upaya positif untuk membahagiakan orang lain yang berada dalam wilayah politik kekuasaan tertentu. Seni itu sejatinya indah untuk dipertunjukkan, ditonton, bahkan sekedar diceritakan. Sesuatu yang indah tentu tidak bisa dikelola oleh tangan-tangan kasar apalagi ambisus. Thus, politik sebagai seni itu adalah pekerjaan dan profesi dunia yang sangat suci dan mulia.

Realitas Berbicara Lain
Namun, realitas di Indonesia berbicara lain. Euforia kebebasan telah mempertontonkan kanvas seni yang ditores oleh tangan-tangan kasar yang membuat keindahan menjadi kesemrawutan. Membuat orang-orang berlalu lalang di sekitarnya menjadi ketakutan. Sering kali yang masuk ke ring-ring perebutan kekuasaan adalah orang-orang yang terkadang tidak mempunyai filosofi politik yang semakna dengan apa yang dijelaskan di atas. Politik tidak lebih dari perebutan kekuasaan untuk kepentingan dirinya sendiri atau paling baik untuk kepentingan kelompoknya sendiri.

Dalam sejumlah kasus bahkan ada politisi yang melibatkan kelompok masyarakat lain, para pendemo bayaran, untuk menciptakan ketidakjelasan dalam rangka menguntungkan dirinya. Seringkali juga bahkan ditemukan yang penting lawan politiknya dirugikan, meskipun tidak selalu menguntungkan dirinya.

Itulah barangkali mengapa Charles De Gaulle berkesimpulan I have come to the conclusion that politics are too serious a matter to be left to the politicians. (Saya sudah sampai pada kesimpulan bahwa politik itu suatu hal yang terlalu serius untuk diserahkan kepada para politisi (saja) (Charles De Gaulle, 1890-197). Artinya, tidak semua urusan yang berkaitan dengan politik dapat diserahkan kepada para politisi yang ideal sekalipun. Apa lagi pada politisi yang tidak begitu mengerti makna politik ideal selain dari memperjuangkan kepentingan dirinya atau kelompoknya sendiri.

Oleh karena itu, dalam sebuah pentas politik yang demokratis, diperlukan adanya kelompok masyarakat yang secara arif dapat menyeleksi secara akademis dan sosial siapa saja yang layak masuk ke ring-ring perebutan kekuasaan, mengevaluasi dan mengingatkan para pemain yang lupa atau lalai dengan peran “seni” mereka tadi.

Kelompok ini adalah kelompok “media” dan akademisi. Media adalah “tuhan” demokrasi, sementara “akademisi” mungkin dapat dimaknahi sebagai para malaikatnya dan hamba-hambanya, para politisi (Suaidi Asyari, 2005). Sebagai penentu wajah demokrasi medialah yang paling menentukan benar tidaknya kerja seorang politisi di depan mata masyarakat.

Tentu saja “media” sebagai “tuhan” demokrasi harus tetap diberi tanda kutip, karena harus melakat pada dirinya sifat-sifat Tuhan yang Maha Adil dan Bijaksana dan Maha Mengetahui. Media seharusnya berbicara atas dasar fakta sebagai sebuah institusi yang juga bertanggung jawab menciptakan masyarakat baik yang berkeadilan tadi. Dia seharusnya menghindari dari isu-isu yang benar-benar fitnah yang membuat masyarakat dan para pemain politik merasa was-was atau saling curiga dan berburuk sangka. Karena dalam meciptakan masyarakat yang adil dan baik harus berdasarkan fakta-fakta. Bukan ilusi dan adu domba. Artinya, “media” yang hanya berpikir “kapitalis”, mementingkan pemasukan atau memperkaya diri ala politisi yang tidak bermoral, sama dengan “tuhan” yang tidak mengerti dengan tugasnya. 

Peran Akademisi
Disinilah letak arti penting adanya kelompok masyarakat lain, yaitu “akademisi”. Kelompok akademisi adalah petugas-petugas yang harus berkerja sama secara positif dan benar dengan “media” dalam rangka memperindah kerja seni para politisi tadi ketika menciptakan masyarak baik yang berkeadilan tadi.

Karena itu, para akademisi seharusnya juga berbicara atas dasar data dan fakta-fakta. Setidaknya ada rujukan yang dapat dipertanggung jawabkan. Sehingga karya seni politisi dapat dipertontonkan kepada masyarakat menjadi lebih indah dan bermakna.

Namun, akademisi disini juga ternyata masih perlu diberi tanda kutip. Karena belakangan ini juga sering dimukan adanya akademisi bermain dengan tiga kaki. Dia berpijak pada politisi, media dan sekaligus kelompok kepentingan lainnya yang seringkali merusak wajah indah politik demokratis tadi. 

Kita dapat membayangkan dalam sebuah permainan sepak bola ketika wasit tidak jelas dalam membuat keputusannya. Dia dapat saja membuat sebuah pertandingan kacau. Ingat, sekitar dua setengah dekade yang lalu seorang wasit yang tidak membunyikan fluitnya pada hal waktu sudah habis ketika pertandingan Premier League 1999/2000. Ketika keeper Liverpool menendang bola ke arah Everton's Danny Hutchison dan menganggap itu adalah tendangan terakhir. Tetapi ketika pemain back dari Everton menendang kembali bola ke lapangan dan masuk ke gawang Liverpool. Terjadilah sebuah gol. Tetapi kemudian wasit mengentikan bola dan menyatakan waktu seudah berakhir tapi tanpa membunyikan fluitnya. Betapa kacaunya ujung pertandingan itu. Demikian pula sebagian wajah demokrasi kita saat ini ketika media dan akademis tidak bersuara lantang mengingatkan para pemain politik. 

Para akademisi dan media barangkali akan kebagian dosa demokrasi terbesar apabila ada seseorang yang dipilih rakyat (yang tidak diberi informasi yang cukup) pada hal sesungguhnya yang bersangkutan tidak mampu untuk mengemban amanah itu. Dalam Islam ini disebut sebagai memberikan amanah kepada seseorang yang bukan ahlinya.

Kita tentu semua berharap setiap pengawal perjalanan demokrasi ini dapat bekerja lebih baik dalam proses pendewasaan demokrasi di Republik yang kita cintai ini, khususnya dalam menghadapi Pemilu Legislatif dan Eksekutif April 2014 ini. Semoga.

*Direktur Eksekutif Center for the Study of Contemporary Indonesian Islam and Society (CSCIIS), Dekan Fakultas Ushuluddin IAIN STS Jambi.

Tidak ada komentar :

Posting Komentar

Space 2

Space 2